Analisa “Tuhan Sudah Mati” (Statement Friedrich Nietzsche)
Sumber Gambar : http://indonesiasastra.org/2014/04/tuhan-terlempar-mudah-di-bibir-lenyap-di-ujung-jemari/
adalah sebuah ungkapan yang banyak dikutip dari Friedrich Nietzsche. Ungkapan ini pertama kali muncul dalam Die fröhliche Wissenschaft, seksi 108 (New Struggles), dalam seksi 125 (The Madman), dan untuk ketiga kalinya dalam seksi 343 (The Meaning of our Cheerfulness). Juga muncul dalam buku klasik Nietzsche Also sprach Zarathustra, yang paling bertanggung jawab dalam memopulerkan ungkapan ini. Gagasan ini dinyatakan oleh ‘The Madman’ sebagai berikut:
“Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu?”( Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125)
Statatement ini diungkapan oleh salah seorang tokoh filsuf Jerman Nietzsche dengan argumennya. Nietzsche beranggapan bahwa manusia telah melepaskan keyakinan kepada Tuhan. Sedangkan Franz Magnis-Suseno dalam bukunya yang berjudul Menalar Tuhan mengawali dengan statement manusia adalah sebuah makhluk yang bertanya. Sejatinya ia selalu bertanya dan bertanya. Dalam pembahasan filsafat pun tentang masalah Tuhan manusia tidak akan selesai membahasnya, jangankan membahas Tuhan yang secara kompleks pembahasan manusia itu sendiri belum sampai.( Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, hal. 17) Pantas saja Nietzsche beranggapan bahwa Tuhan telah mati, hal ini karena sebagian umat manusia pun menanggap Tuhan hal yang tidak dapat diketahui, tidak sampai disitu bahkan mereka pun memuntut agar manusia yang percaya akan Tuhan dituntut untuk mempertanggungjawabkan keyakinannya akan adanya Tuhan.( Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, hal. 19) Soalnya bagi orang yang beriman percaya akan Tuhan bukan salah satu kepercayaan subyektif.
Memikirkan hal “Tuhan” bukan dari sudut-sudut tertentu, melainkan secara mendasar. Apakah nalar manusia dapat mengetahui sesuatu tentang Tuhan? Kita katakan kita sepakat kepada Rene Descrates (1596–1650) seorang ahli filsufat modern yang mempelopori faham rasional ia beranggapan bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. (Amsoro Ahmadi, Filsafat Umum, hal. 115) Namun faham ini dirasa masih belum cukup untuk mengetahui Tuhan. Bahkan pembahasan tentang Tuhan tidak akan selesai jika kita mengandalkan faham empiris yang beranggapan bahwa pengatuhan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indera, salah satu tokohnya adalah Thomas Hobbes (1588–1679) Ia beranggapan bahwa sesuatu ilmu pengetahuan tentang akibat-akibat atau tentang gejala yang diperoleh dari sebabnya.( Amsoro Ahmadi, Filsafat Umum, hal. 117 )
Kant pernah mengatakan tentang kemampuan akal manusia yang memiliki batas jika berada diluar pengalaman, Immanuel Kant merupakan salah satu tokoh idealisme ia beranggapan bahwa objek pengalaman kita, yaitu yang ada dalam ruang dan waktu tidak lain dari pada penampilan dari yang tak memiliki eksistensi (bentuk) dari independen di luar pemikiran kita.( Jan Hendrik Rapar, Filsafat Umum, hal. 45 ) Teori ini pun tidak akan sampai untuk memahami Tuhan. Manusia selalu mencari dan mencari tentang Tuhan. Di mulai dari faham pada teori rasinalisme, empirisme, idealisme, dan lain sebagainya tidak akan sampai pada pemahaman hakiki tentang Tuhan ini yang dinamakan dialektika, artinya manusia terus berpikir sehingga menimbulkan tesis dan anti tesis sehingga proses inilah dinamakan dialektika.
Dari pemaparan diatas merupakan salah satu bentuk pendekatan filsafat untuk sedikit menyinggung statement Nietzsche yang beranggapan bahwa Tuhan telah mati. Ini akan sangat menarik jika di benturkan dengan pendekatan teologi, Islam misalnya. Manusia memang sejatinya adalah makhluk yang selalu berpikir dan berpikir, maka dari itulah kita disebut kholifah fil ardi (Lihat QS. Al-Baqarah : 2 : 30) tentu berbeda dengan makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuhan yang tidak mampu berpikir. Akal manusia merupakan satu sistem yang sebenarnya di anugerahkan Tuhan untuk selalu berpikir dan merenungi semua gejala yang ada dibumi ini, disinilah mengapa banyak Rasul yang diutus sebagai penyampai pesan Tuhan pada makhluknya. Dalam pendekatan Islam untuk memahami Tuhan telah dikupas habis dari pelbagai tanda yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW lewat al-Qur’an, Hadis Qudsi, dan Hadis beliua. Ketika berbicara yang demikian jadi teringat kisah Nabi Muhammad SAW. Sepulang beliau dari isra mi’raj dalam kisah tersebut ada satu hal yang perlu kita garis bawahi yaitu kepercayaan iman lebih luhur dari pada akal kita. Lihatlah bagaimana sahabat Nabi Abu Bakar yang lebih mendahulukan kepercayaan dari pada Abu Jahal yang mendahulukan akal untuk menerima persitiwa tersebut, dirasa ini bisa kita jadikan pelajaran.
Sebagai manusia yang rasional, pasti selalu beranggapan bahwa semua yang terjadi di sekelilingnya merupakan salah satu bentuk sebab-akibat, ini bisa dijawab dengan argumen kosmologis yang beranggapan bahwa setiap akibat pasti punya sebab. Dunia adalah sebab, karena itu dunia pasti memiliki sebab diluar dirinya sendiri. Penyebab adanya dunia itu adalah Tuhan (Jan Hendrik Rapar, Filsafat Umum, hal. 47 ) itu sendiri.
Nietzsche percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau menolak untuk mengakui) kematian ini berdasarkan ketakutan atau angst (kecemasan) mereka yang paling terdalam. Karena itu, ketika kematian itu mulai diakui secara luas, orang akan berputus asa dan nihilisme akan meraja lela, seperti halnya pula dengan kepercayaan relativistik bahwa kehendak manusia adalah hukum di dalam dirinya sendiri — apapun boleh dan semuanya diizinkan. Inilah sebagian alasan mengapa Nietzsche menganggap Kekristenan nihilistik. Bagi Nietzsche, nihilisme adalah konsekuensi dari sistem filsafat yang idealistik manapun, karena semua idealisme menderita kelemahan yang sama seperti moralitas Kristen — yakni tidak memiliki “dasar” untuk membangun di atasnya.
Sebagai penutup, menurut analisa penulis. Statement tersebut dirasa merupakan salah satu singgungan terhadap manusia yang memang ragu akan adanya Tuhan. Bahkan bagi mereka yang tidak keyakinan akan adanya Tuhan. Setelah sedikit menelaah dengan membandingkan fakta faham ateis beranggapan bahwa banyak peperangan yang terjadi dari beberapa generasi dengan mengatas namakan Tuhan disini mungkin salah satu kegelisan mengapa Nietzsche beranggapan bahwa Tuhan telah mati. Bukankah agama seharusnya menciptakan kedamaian dan ketentraman. Ini perlu di cermati bahwa penganut agamalah yang terkadang tidak bisa berpikir jernih bagaimana menentukan haknya pada Tuhan sehingga terkadang mengatasnamakan Tuhan untuk menutup pelbagai kepentingannya.
Wallahualam
Referensi Tulisan:
https://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan_sudah_mati
Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125
Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, PT Kanius, Yogyakarta : 2006
Amsoro Ahmadi, Filsafat Umum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta : 2012
Jan Hendrik Rapar, Filsafat Umum, PT Kanius, Yogyakarta : 2017